Dewasa ini globalisasi telah menjangkau berbagai aspek kehidupan.
Sebagai akibatnya persainganpun semakin tajam. Dunia bisnis sebagai salah satu
bagiannya juga mengalami hal yang sama. Perusahaan-perusahaan yang dahulu
bersaing hanya pada tingkat local atau regional, kini harus pula bersaing
dengan perusahaan dari seluruh dunia. Hanya perusahaan yang mampu menghasilkan
barang atau jasa berkualitas kelas dunia yang dapat bersaing dalam pasar
global.
Demikian
halnya perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang produksi pangan, apabila
ingin memiliki keunggulan dalam skala global, maka perusahaan-perusahaan
tersebut harus mampu melakukan setiap pekerjaan secara lebih baik dalam rangka
menghasilkan produk pangan berkualitas tinggi dengan harga yang wajar dan
bersaing. Hal ini berarti agar perusahan atau industri pangan mampu bersaing
secara global diperlukan kemampuan mewujudkan produk pangan yang memiliki sifat
aman (tidak membahayakan), sehat dan bermanfaat bagi konsumen.
Dalam krisis moneter seperti saat ini,
pengembangan agroindustri yang mempunyai peluang dan berpotensi adalah
agroindustri yang memanfaatkan bahan baku utama produk hasil pertanian dalam
negeri, mengandung komponen bahan impor sekecil mungkin, dan produk yang
dihasilkannya mempunyai mutu yang mampu bersaing di pasar internasional.
Agroindustri yang dibangun dengan kandungan impor yang cukup tinggi ternyata
merupakan industri yang rapuh karena sangat tergantung dari kuat/lemahnya nilai
rupiah terhadap nilai dolar, sehingga ketika dolar menguat industri tidak
sanggup membeli bahan baku impor tersebut.
Keamanan pangan, masalah dan dampak
penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam
pengembangan sistem mutu industri pangan merupakan tanggung jawab bersama
antara pemerintah, industri dan konsumen, yang saat ini sudah harus memulai
mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu pangan. Karena di era pasar
bebas ini industri pangan Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu bersaing
dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan
dalam sistem mutunya. Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah
terjaminnya pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan
yang berbahaya bagi kesehatan.
Dari jumlah produk pangan yang diperiksa
ditemukan sekitar 9,08% – 10,23% pangan yang tidak memenuhi persyaratan. Produk
pangan tersebut umumnya dibuat menggunakan bahan tambahan pangan yang dilarang
atau melebihi batas penggunaan: merupakan pangan yang tercemar bahan kimia atau
mikroba; pangan yang sudah kadaluwarsa; pangan yang tidak memenuhi standar mutu
dan komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai persyaratan. Dari sejumlah
produk pangan yang diperiksa tercatat yang tidak memenuhi persyaratan bahan
pangan adalah sekitar 7,82% – 8,75%. Penggunaan bahan tambahan makanan pada makanan
jajanan berada pada tingkat yang cukup menghawatirkan karena jumlah yang
diperiksa sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan. Pengujian pada minuman
jajanan anak sekolah di 27 propinsi ditemukan hanya sekitar 18,2% contoh yang
memenuhi persyaratan penggunaan BTP, terutama untuk zat pewarna, pengawet dan
pemanis yang digunakan sebanyak 25,5% contoh minuman mengandung sakarin dan
70,6% mengandung siklamat.
Penggunaan bahan tambahan yang tidak
sesuai diantaranya adalah: (1) Pewarna berbahaya (rhodamin B. methanyl
yellow dan amaranth) yang ditemukan terutama pada produk sirop, limun,
kerupuk, roti, agar/jeli, kue-kue basah, makanan jajanan (pisang goreng, tahu,
ayam goreng dan cendol). Dari sejumlah contoh yang diperiksa ditemukan 19,02%
menggunakan pewarna terlarang; (2) Pemanis buatan khusus untuk diet (siklamat
dan sakarin) yang digunakan untuk makanan jajanan. Sebanyak 61,28% dari contoh
makanan jajanan yang diperiksa menggunakan pemanis buatan; (3) Formalin untuk
mengawetkan tahu dan mie basah; dan (4) Boraks untuk pembuatan kerupuk, bakso,
empek-empek dan lontong.
Masih
kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap
keamanan pangan tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP)
dan teknologi produksi berwawasan lingkungan yang belum sepenuhnya oleh
produsen primer, penerapan Good Handling Pratice (GHP) dan Good
Manufacturing Pratice (GMP) serta Hazard Analysis Critical Control
Point (HACCP) yang masih jauh dari standar oleh produsen/pengolah makanan
berskala kecil dan rumah tangga.
Pemeriksaan
terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga menengah dan besar
menemukan sekitar 33,15% – 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan
sanitasi. Sedangkan pengawasan di tempat pengolahan makanan (TPM) yang mencakup
jasa boga, restoran/rumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar 19,98% yang telah
mempunyai izin penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31% dari rumah
makan/restoran yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi grade A, B dan C.
Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau skala besar.
Distributor
pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice (GDP).
Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi,
bangunan dan fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual menemukan
sekitar 41,60% – 44,29% sarana yang tidak memenuhi syarat sebagai distributor
makanan. Selain itu, masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian konsumen
tentang keamanan pangan tercermin dari sedikitnya konsumen yang menuntut produsen
untuk menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu serta klaim konsumen
jika produk pangan yang dibeli tidak sesuai informasi yang tercantum pada label
maupun iklan. Pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat
mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para produsen
pangan.
Untuk itu, kesadaran semua pihak untuk
meningkatkan manajemen mutu dan keamanan pangan sangatlah penting. Tidak bisa
hanya menyerahkan tanggung jawab kepada pemerintah atau pihak produsen saja akn
tetapi semua pihak termasuk konsumen punya andil cukup penting dalam
meningkatkan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar